Karena terjadi di bulan Agustus, sebut saja ini berkah reformasi. Ia disebut berkah karena ujung dari dinamika politik ini justru lebih baik bagi penguatan demokrasi Indonesia.
Tak tanggung-tanggung, aksi protes mahasiwa, LSM, guru besar, Putusan MK, batalnya RUU Pilkada, berujung pada tiga berkah sekaligus.
Berkah pertama: kompetisi politik, yang merupakan fondasi demokrasi, kini lebih terbuka. Tak ada demokrasi tanpa kompetisi politik.
Sebelum dinamika politik, di bulan Juli 2024, partai atau koalisi partai yang bisa mencalonkan kepala daerah adalah pemilik kursi DPR minimal 20%, atau pemilik suara 25%.
Kini di bulan Agustus, berkat putusan MK, aksi protes mahasiswa, dan civil society, KPU dan DPR bersepakat menjalankan syarat yang lebih rendah. Untuk boleh mencalonkan, partai atau koalisi partai cukup dengan persentase 10% - 6,5%, sesuai dengan jumlah populasi penduduk.
Semakin rendah persentase persyaratan, semakin terbuka pula kompetisi politik. Ini menghindari tragedi dan komedi demokrasi: terjadinya pilkada seorang calon hanya melawan kotak kosong.
Kini politik Indonesia lebih kompetitif. Semakin banyak partai yang bisa mencalonkan. Mahar politik untuk memperoleh dukungan partai bisa ditekan. Bahkan partai politik yang tak dapat kursi di legislatif potensial bisa ikut mencalonkan kepala daerah.
Berkah politik kedua: dinamika politik ini memberikan memori kolektif jangka panjang. Bahwa negara ini tak hanya berisi partai politik. Politik terlalu penting jika hanya diatur oleh partai politik.
Di dalam negara, juga ada civil society: aktivis, intelektual, penulis, para guru besar, LSM. Mereka juga berhak menentukan bulat lonjong negeri ini.
Dalam sejarah Indonesia, civil society beberapa kali memainkan peran signifikan, seperti dalam peristiwa Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi 1945, tumbangnya Orde Lama 1966, dan tumbangnya Orde Baru 1998.
Dinamika ini menyadarkan kita bahwa negara Indonesia ternyata memiliki batas ambang toleransi. Jika ambang batas itu terlewati, tanpa dikomando, civil society bergerak.
Mereka yang terbiasa dengan politik praktis, dan memiliki kesadaran minimal soal politik akan bisa merasakan. Ada unsur spontan, kesedihan, keberanian, kemarahan, pengorbanan dari gerakan civil society jika yang mereka jaga adalah kewarasan dalam politik.
Berkah politik ketiga: kembali lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan civil society menuju harmoni yang baru, senada, satu kata, satu sikap.
Sebelumnya, DPR dan pemerintah diberitakan akan melakukan RUU Pilkada, yang mengembalikan apa yang sudah dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi. Yaitu syarat mencalonkan kepala daerah sebesar 20% kursi DPR dan 25% suara.
Jika RUU Pilkada itu jadi disahkan, akan lahir preseden ganjil dalam proses demokrasi. Yakni norma baru yang diciptakan Mahkamah Konstitusi, hasil dari judicial activism-nya, yang dalam kasus ini mengatur syarat persentase baru calon sah Pilkada 6,5% - 10%, bisa dibatalkan oleh UU baru DPR dan Pemerintah.
Akan muncul kesan tafsir konstitusi dari MK dikalahkan oleh DPR dan pemerintah. Niscaya ini akan menjadi benih krisis kelembagaan dan *distrust* jangka panjang kepada lembaga negara.
Tapi kini, partai politik, DPR, lembaga presiden, membatalkan RUU Pilkada itu, dan berselancar dengan civil society, menghormati dan menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi.
Tiga berkah proklamasi ini justru menjadi penutup yang baik dari pemerintahan Jokowi. Dan juga awal yang baik dari pemerintahan Prabowo.
Dinamika politik bulan Agustus ini meninggalkan berkah, pesan yang mendalam. Ternyata hadir kesadaran kolektif, invisible hand, tangan yang tak terlihat, yang menjaga ambang batas demokrasi.
Ini sekaligus juga menjadi pegangan bagi semua kita, untuk tidak melampaui batas, dan untuk berani menjaga semangat reformasi. ***
25 Agustus 2024.
CATATAN:
(1) Tak ada demokrasi tanpa kompetisi politik
**Sumber: Catatan Harian Denny JA**
* Pendiri Lingkaran Survei Indonesia. Penggagas Puisi Esai
Komentar0